/* Whatsapp css setting */ .tist{background:#35BA47; color:#fff; padding:2px 6px; border-radius:3px;} a.tist:hover{color:#fff !important;

Monday 25 May 2015

Phd Story: Agung Dewanto

by Rafika Nurulhuda

Dokter Agung Dewanto melukis outdoor, dikerubuti oleh anak-anak

"Keduanya tak saling mengganggu, malah saling melengkapi."  

Itulah jawaban dokter Agung Dewanto SpOG(K) yang berjiwa seniman ini, ketika ditanya, "Jika disuruh pilih, menjadi dokter atau pelukis?"

Menurutnya, pertanyaannya itu sama seperti pertanyaan, "Milih makan nasi saja atau telur saja?"

..............

Menekuni program Phd di bidang Ginekologi dan belajar seni lukis adalah dua dunia dan tentunya, prestasi yang tidak bisa lepas dari pria kelahiran 1973 ini. (Btw, manggilnya "pak", "dokter", "om", "bang", atau apa ya? hehe)

"Teman di bawah umur 30 panggil aku simbah, karena sudah tua, hehe, sudah 42 nih."

(Yang penting tetap young spirit dan berprestasi, mbah, hehehe)


Selama 3 tahun di Innsbruck, beliau mendalami masalah endometriosis sebagai topik risetnya. Saya pun langsung semangat bertanya-tanya mengenai hal ini, karena sepertinya zaman sekarang banyak wanita yang mengalami masalah ini. 

"Dari istilahnya, endometriosis mirip endometrium. Endometrium adalah jaringan yang letaknya melingkupi bagian dinding bagian dalam rongga rahim. Pada endometriosis, terdapat jaringan mirip endometrium tapi letaknya di luar dinding bagian dalam rongga rahim," jelasnya.


Beberapa teori penyebab endometrisis tersebut adalah antara lain "Dari sebab imunologi, dan sebab sebab metaplasia, yaitu perubahan bentuk dan sifat cell. Ada orang  yang tidak terdeteksi menderita endometriosis, sampai kemudian secara kebetulan ditemukan karena ada masalah infertil atau sulit punya anak, sampai ke penyebaran endometriosis ke organ dalam seperti usus, saluran kencing, dan menimbulkan gejala terutama nyeri kronis dan gejala lainnya tergantung pada organ mana yang terkena endometriosis."

Lalu, bagaimana pengobatannya?


"Pertama, diagnosis ditegakkan dengan laparoskopi, yaitu operasi dengan laparoskopi, alat yang dirancang seperti teropong. Jadi dilihat lewat kamera. Jika diagnosis telah tegak, jaringan endometriosis dibuang atau dieksisi (dipotong bagian endometriosisnya). Pengobatan dengan hormon bisa dilakukan untuk mengurangi rasa nyerinya, meski bukan jaminan."

Risetnya saat ini adalah tentang bagaimana jaringan endometriosis tumbuh dan berkembang, mengapa dapat infiltrasi, dengan melihat dan menganalisa beberapa growth factors dan receptors, dan bagaimana persarafannya.

"Sejauh ini hasilnya seperti hipotesis yang saya buat. Agak beda dengan riset yang sudah dipublikasi oleh peneliti sebelumnya."



"Sebelum tahun 2011, saya bukan dosen. Saya jadi dosen ketika selesai sekolah konsultan. Dokter konsultan disini disebut Oberartz. Oberartz itu kan harus Fachartz dulu. Fachartz saya Obsgyn. Oberartz saya endokrin ginekologi. Kemudian saya ditarik jadi dosen disuruh S3," ceritanya.

Sebenarnya, Berlin adalah awal tujuan tempat studinya. Namun, karena ada masalah dengan administrasi, beliau pindah ke Innsbruck. Uniknya, proposal thesisnya tetap sama, supervisornya ada dua, yaitu dari Berlin dan Innsbruck, dan bahkan sebagian sampel dari Charite Berlin. 

Hal yang menjadi tantangan sendiri adalah tingginya standard riset S3 di Eropa, dan adanya dua professor supervision dari beda negara dan beda universitas. 

"Aku dulu pegangnya pisau bedah, tiba-tiba pegang pipet di usia tak muda lagi. Pingin dan kangen balik ke ruang operasi. Kangen kerja di daerah terpencil lagi, hehe."




Selain kesibukannya sehari-hari dalam riset, dokter asal Jogjakarta ini menyempatkan waktu 1-2 jam sehari untuk mendalami hobinya melukis. Sudah 1,5 tahun, sebulan sekali, beliau mengambil kursus melukis di Akthof Munchen (akthof.de). 


"Sekarang masih belajar classic. Masih basic. Apa yang dilihat itu yang digambar. Di tempat kursus, disediakan dan diajari melukis dan drawing model. Modelnya bisa orang, barang, buah sayur, landscape, semua lah.  Semua itu untuk mempelajari komposisi, warna, proposisi, proyeksi, itu standard ilmu fine arts."

Alangkah indahnya jika dapat menenuki hal-hal yang diimpikan tanpa harus meninggalkan salah satu. Bakat dan minat dalam bidang seni ternyata sudah muncul sejak "dibelikan pensil warna", namun tidak sempat dikembangkan, karena menurutnya, jika dibandingkan dengan seni tarik suara, seni lukis tidak terlalu dihargai di Indonesia. (Kalau sekarang, menurut kalian, sudah dihargai belum ya? :))

"Saya waktu kecil milih menyanyi daripada melukis, karena lebih dihargai dan lebih sering mendapat penghargaan, walaupun bukan no 1. Dan cita-cita saya jadi arsitek."

Pada saat itu, nilai biologinya lebih baik daripada fisika dan kimia, tetapi pilihan pertama tehnik. Namun, nasib berkata lain, jadilah beliau seorang dokter yang tidak melupakan passion-nya dalam berseni.


"Umumnya orang Indonesia bilang lukisan saya biasa saja. Ketika saya iseng melukis teman saya disini, mereka bilang bagus. Banyak support dari teman bule, bahkan mereka mau jadi model gratis. Itu modelnya teman bule, rela pakai dindrl. Takjub deh saya. Di Indonesia lukisan saya dianggap jelek. Emang jelek sih ya, haha."


Menurutnya, sulit menemukan orang Indonesia yang bersekolah dan paham tentang seni, karena pengalamannya sendiri, sejarah seni dan ilmu seni di Indonesia sangat kurang diajarkan di sekolah umum. 

"Saya pikir, oh rupanya beda selera, tapi bule sini yang sekolahan juga tahu seni, sejarah seni, renaissance, impresionism, bahkan pointilismus juga tahu."

Sejauh ini, jumlah lukisannya sudah mencapai sekitar 30 dan ada beberapa yang dibeli dan diberi ke orang lain sebagai hadiah natal, hadiah pernikahan, atau ulang tahun. 

"Saya enggak niat jual awalnya. Buat hadiah, eh malah dikasih duit. Katanya, ini terlalu berlebihan untuk sebuah hadiah."



Ternyata, rumah sakit di Eropa disediakan tempat pameran lukisan dan itulah kesempatannya untuk memamerkan karya-karya seninya. 

"Memang disediakan untuk lokal artis tapi harus pesan 1 tahun sebelumnya. Senang bisa menghibur pasien. Kalau di Indonesia kan bisa hilang tuh. Dan di Indonesia isinya program penyuluhan bukan karya seni."

Tiap orang memiliki bakat yang berbeda-beda, yang jika tidak diasah, akan sia-sia. Jadi yang terpenting adalah, keep on practising. Bahkan orang yang tidak berbakat "dari sananya", tapi karena dia tetap menekuninya, dia bisa lebih "sukses" daripada yang secara lahiriah berbakat. Intinya, just keep on going, whatever the society says.

"Guru lukis saya di Munich lulusan Akademi Bildende Kunst bilang: tahu apa mereka tentang lukisanmu. Terus aja melukis. Tentang bakat, kamu tahu ga, bakat itu cuma sekian persen dari kesuksesan pelukis. Masalah tehnik itu butuh latihan."

Sumber foto: Agung Dewanto (Facebook)


No comments:

Post a Comment